Bob Marley Menyembah, Soeharto Meresah
07.57
Begitu pesawat yang membawanya mendarat, keluarlah dari pintu pesawat seorang tua berjenggot bertubuh pendek. Badannya ringan. Cuma sekitar 50an kilogram. Dia tak hanya membawa rombongannya. Tapi juga seekor kuda. Bukan untuk dinaiki, tapi sebagai hadiah untuk tuan rumah, Presiden Soeharto. Sangat jarang seorang tamu negara memberikan seekor binatang mamalia besar kepada presiden Indonesia. Pria tua kerempeng itu datang ke negeri yang jauh dari tanah airnya, bukan atas keinginannya. Kedatangannya juga tak ada yang istimewa dari negaranya yang miskin, untuk membantu Indonesia, yang juga negara sedang terpuruk secara ekonomis di masa itu. Sang Negus. Itulah julukannya sang tamu. Atau Raja Di Raja. Yang Tak Terbatas. Sang Singa Afrika. Atau disingkat pendek: HS.
PROTES
Beberapa minggu sebelum kedatangannya ke Indonesia, sekelompok orang mencium aroma tak sedap kebijakan HS atas orang Islam di negerinya. Kekuasaannya yang maha besar, melampaui batas absolut. Pengaruhnya tak sebatas negaranya, bahkan lintas benua dan merasuk sampai ke kalbu banyak orang yang memuja surpremasi kulit hitam. Mereka menganggap negerinya bagai tanah suci orang hitam. HS sendiri menjadi pusat segala-galanya. “Sebaiknya umat Islam lebih mementingkan pemeliharaan ke dalam, daripada tindakan ke luar”, pesan Soeharto kepada pimpinan 19 organisasi pemuda, mahasiswa dan pelajar Islam di Istana Merdeka, tiga hari sebelum HS tiba. Mereka membencinya. HS tak boleh datang! Soeharto tak mau dibuat resah. Apalagi malu kepada tamu yang diundangnya sendiri.
HS datang bukan membawa bantuan. Dia ke Jakarta selama 4 hari (7 sampai 13 Mei 1968), karena dia punya pandangan positif terhadap sebuah era baru Indonesia. Era yang dipimpin Soeharto tentu. Kala itu sebuah dukungan sangat diperlukan. Soeharto butuh keabsahan dunia. Apalagi dia baru saja memimpin sebuah negeri besar, yang banyak ditinggalkan oleh sahabat-sahabat lamanya. Setidaknya menjaga jarak kian menjauh, dengan pandangan penuh sinis. Bahkan mencibir dan memaki. Beda dengan HS. Dia melihat Soeharto sebagai sosok positif. Untuk itu Soeharto mengundang HS. Dan ia datang.
DUNIA KETIGA
HS bukan hanya menjadi figur internasional. Ia juga menjadi reinkarnasi Tuhan bagi segelintir pemujanya. Nama kecilnya sebelum menjadi kaisar agung, diabadikan sebagai nama sebuah gerakan spiritual. Tafari Makonnen. Itulah nama kecilnya. Dari kata Tafari, lahir gerakan Rastafari tahun 1930. Tahun ketika HS dinobatkan menjadi kaisar negerinya. Ras berarti “sang pemimpin”. Rastafarianisme (atau Rasta) memuja HS sebagai Tuhan. Karena dia reinkarnasi Jesus Kristus. Mereka percaya reinkasnasi dan hidup adalah abadi.
Rasta menyukai ganja dan rambut gimbal. Tak makan daging (apalagi babi). Pantang aborsi dan kontrasepsi. Menganggap Jesus berkulit hitam. Dan bermimpi, suatu saat, semua orang hitam pulang ke tanah asal, Afrika. Tempat manusia pertama kali di muka bumi. Rasta berawal dari Jamaika, Karibia dan dibiakkan oleh Marcus Garvey. Ideologi itu mendunia melalui seorang pria berambut gembel yang lahir 6 Februari 64 tahun lalu. Bukan melalui khotbah, seperti Pendeta Billy Graham yang terkenal itu, tapi melalui lagu, alunan irama reggae. Dia Bob Marley.
Bob bagaikan seorang rasul disanubari lebih sejuta penganut rasta sejagat. Dia selalu membawa gambar HS ditiap konsernya. Juga memvisualkan corak warna rasta dengan baik, yaitu merah, hijau, kuning (emas), kadang hitam, ke penjuru dunia. Keempat kombinasi warna itu, telah menjadi warna baku tiap bendera hampir semua negara Afrika hitam, dan beberapa negara Karibia.
Di Indonesia pun reggae diterima baik. Melalui Tony Q, seorang rasta asal Jawa Tengah, musik Bob Marley ini tetap terdengar ditelinga orang Indonesia. Tony Q bukan hanya bersenandung alunan reggae, dengan syair jeritan kaum bawah. Dia juga membawa Tukul Arwana ke ibukota, hingga menjadi popular (lebih popular darinya) yang mewakili kalangan bawah. Raggae, yang menyebarkan rasta, menjadi musik dunia yang pertama berasal dari Dunia Ketiga. Sebuah kumpulan dunia yang berisi negeri keterbelakang dalam banyak hal. Terutama penindasan dan pangan. Di dalamnya ada negara Jamaika (asal Bob), juga Indonesia. Dan yang pasti juga negeri yang diperintah oleh HS: Ethiopia.
Baik Bob Marley dan Soeharto, punya platform sama: memajukan Dunia Ketiga. Bob melakukannya dengan musik. Sedangkan Soeharto memamerkannya dengan keberhasilan pertanian dan kemajuan kontrasepsi. Dua masalah pelik yang menjadi ciri Dunia Ketiga. Puluhan tahun Soeharto selalu mengagungkan retorikanya, “membangun masyarakat dengan tatanan ekonomi dunia baru”. Sebuah pesan keadilan dan jeritan persamaan antara bangsa miskin dan kaum kaya. Sama seperti yang dilantunkan Bob dalam lagunya ‘Redemption Song’ yang popular itu, “bebaskan dirimu dari mental budak, tak ada yang bisa bebaskan kecuali pikiranmu”.
Meski banyak dikritik dunia barat, Soeharto diakui dunia menjadi teladan untuk Dunia Ketiga. Dia menyulap sebuah negeri yang pemakan beras kelas kakap, menjadi pemberi beras kepada dunia. Keberhasilannya dipamerkan kepada dunia oleh FAO (badan pangan dunia) di Roma tahun 1985. Soeharto juga piawai memperlambat pertumbuhan penduduk dengan hebat. Namanya diabadikan PBB tahun 1989, untuk menghargai siapapun di dunia ini, yang berhasil menekan jumlah penduduk, melalui Soeharto Award.
Bob juga begitu. Ia tercium harum bagi banyak pemusik dunia. Namanya dikenang indah di pusat budaya barat, Hollywood dan negara-negara miskin. Serta dijadikan nama sebuah jalan di kawasan Brooklyn, kota New York. Yang pasti, Bob menjadi sosok pahlawan dan legenda bagi Jamaika. SANG SINGA Meski banyak beda karakter antara Bob dan Soeharto, ada satu titik mereka sepaham, yaitu memuji orang yang sama: HS. Dia adalah Singa Afrika dan Kaisar Ethiopia selama 44 tahun (1930-1974). Haile Selassie I. Bob menuhankan dia. Soeharto menghormatinya. Soekarno mengunjunginya di Addis Ababa, ibukota Ethiopia. Bangsa Afrika pun memujanya, dengan menjadikan ibu kota Addis Ababa sebagai markas tetap Organisasi Persatuan Afrika (OAU).
Ada sebuah cerita menarik tentang HS dari teman dekat kuliah saya. Dia lahir di Addis Ababa, saat orang tuanya menjadi diplomat di Ethiopia akhir 1960an. Pada suatu resepsi diplomatik, ibunya berkesempatan berjabat tangan dengan HS. Tanpa diduga HS si Sang Singa Afrika itu, menyampaikan rasa terima kasih kepada Indonesia. Bukan karena bantuan miliaran dolar atau paket pangan maupun teknologi untuk Ethiopia. Tapi karena KBRI di Addis Ababa, selalu membuka kran air bersih untuk diambil secara bebas oleh rakyat miskin di sana. Siapapun akan selalu mengingat dan mengenang, bentuk bantuan sekecil apapun, ketika ia amat membutuhkannya. Dan itu tak bisa dilupakan oleh ingatan.
1 komentar:
Sedih, nama penulisnya dihilangkan.
Posting Komentar